SURABAYA-Tren milenial menguat dalam peta politik nasional. Hal itu ditandai banyaknya kepala daerah berusia muda yang terpilih di pilkada 2...
SURABAYA-Tren milenial menguat dalam peta politik nasional. Hal itu ditandai banyaknya kepala daerah berusia muda yang terpilih di pilkada 2018. Efek milenial juga merembet ke Jawa Timur, fakta itu bisa dilihat dari terpilihnya Khofifah yang berpasangan dengan figur milenial, Emil Dardak. Demikian pula disejumlah daerah seperti Pamekasan dan Lumajang, Baddrut Tamam dan Thoriqul Haq adalah kepala daerah terpilih yang mengusung isu milenial.
Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam melihat tren milenial akan terus menguat kedepannya. Karena itu, ia menilai dalam Pemilihan Walikota Surabaya (Pilwali) 2020, figur milenial punya kans bersaing dengan kader organik partai yang umumnya politisi senior.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura ini menyebut sejumlah figur milenial yang pantas maju dalam kontestasi pilwali Surabaya. Diantaranya, Azrul Ananda, Bayu Airlangga dan Abid Umar Faruq (Gus Abid).
"Saya kira kalau diantara mereka berpasangan juga menjual, contohnya Bayu-Abid yang sama-sama muda dan enerjik," tutur Surokim, Kamis (27/12).
Peneliti Surabaya Survey Center (SSC) ini membeberkan, duet Bayu-Abid bisa merepresentasikan kekuatan Nasionalis dan Religius. Sebab, Bayu adalah kader Partai Demokrat. Sedangkan Gus Abid adalah kader Ansor dengan basis pesantren berpengaruh di Jatim.
Surokim melanjutkan, kedua figur ini juga punya modal politik besar. Bayu yang merupakan menantu Ketua DPD Partai Demokrat Jatim, Soekarwo tentu punya kans mendapatkan rekom. Demikian pula dengan Gus Abid, Ketua GP Ansor Jatim itu politisi Partai NasDem yang didukung Ketua DPP NasDem, Hasan Aminuddin. Hubungannya juga baik dengan elit NasDem lain.
"Meski muda Bayu dan Abid punya modal politik besar. Artinya peluang untuk mendapat rekom pun terbuka," imbuh akademisi asal Madura ini.
Surokim menambahkan, soal elektabilitas keduanya memang masih di angka satu digit. Namun masih ada waktu untuk melakukan sosialisasi dan melakukan branding. Terlebih di Kota Surabaya yang tingkat baca dan melek teknologinya sangat tinggi.
Karena itu, keduanya masih cukup waktu mensosialisasikan diri di media massa maupun media sosial (medsos). Dengan strategi yang tepat, elektabilitas mereka akan terdongkrak.
"Mas Emil itu pertama running pilgub Jatim elektabilitasnya cuma 2 persen. Namun kemudian bisa melesat menjadi 18 persen karena tepat dalam melakukan personal branding. Saya kira pasangan Bayu-Abid kalau running masih punya waktu untuk mendongkrak elektabilitas," urainya.
Surokim mengingatkan, siapapun yang akan maju dalam Pilwali Surabaya harus menggandeng figur nahdliyin karena efek NU sangat signifikan. Terbukti, dalam pilgub lalu pasangan Gus Ipul-Puti yang didukung PDI Perjuangan terjungkal oleh pasangan Khofifah-Emil yang representasi NU.
Fakta itu membuktikan Kota Surabaya yang selama ini dikenal basis nasionalis saat ini lebih cair dan dinamis. Karena warga NU sangat signifikan dan punya tradisi kuat di Kota Surabaya.
"Faktor NU tidak bisa diabaikan dalam suksesi kepemimpinan di Surabaya. Saya kira PDI Perjungan sebagai partai terbesar di Surabaya harus membuka diri terhadap kader NU maupun Ansor," pungkas Surokim. (gus)
COMMENTS