SURABAYA-Pemilihan Walikota Surabaya 2020 mendatang mau tidak mau akan diwarnai wajah-wajah baru, gegara walikota incumbent, Tri Rismahari...
SURABAYA-Pemilihan Walikota Surabaya 2020 mendatang mau tidak mau akan diwarnai wajah-wajah baru, gegara walikota incumbent, Tri Rismaharini, tidak bisa lagi maju dalam Pilwali mendatang.
Selain popularitas, popularitas dan integritas, ada satu lagi syarat yang harus dimiliki oleh kandidat kepala daerah, yaitu isi tas atau logistik. Lia Istifhama pun mengakui logistik penting untuk menunjang operasional, baik dalam penyapaan masyarakat maupun sosialisasi program.
"Tentunya mengikuti proses pilwali ini saya juga siap bondho. Masalah besar atau kecil itu relatif," ujar keponakan Khofifah itu, Kamis (5/12).
Meski harus diakui elektabilitas ibu dua anak ini cukup signifikan, namun sindiran tetap menyerang orang asli Wonocolo itu. Salah satu critical point yang disindir tidak mampu ia penuhi adalah 'isi tas'.
Banyak pihak mengakui besarnya kebutuhan bagi kandidat yang running Pilwali. Fakta itu diakui Lia Istifhama, Dosen yang juga aktivis ini tidak menampiknya.
"Jangankan pemilihan kepala daerah, pileg saja pasti membutuhkan dana besar bagi calegnya. Tapi fakta harus diakui ya, bahwa ada saja caleg yang berhasil menduduki parlemen dengan dana yang sangat minim. Fakta ini sangat menarik untuk dikupas. Pun dengan pilkada, sekalipun membutuhkan dana besar, bukan berarti harus mencapai angka tertentu baru seseorang bisa running di dalamnya," imbuh Semifinalis Ning Surabaya 2005 itu.
Lia mengungkapkan, kalau setiap orang mindset-nya isi tas harus sekian, mana mungkin setiap warga negara bisa bermimpi jadi pemimpin atau kepala daerah. Ia juga menambahkan pengakuannya selama berproses dalam running Pilwali Surabaya.
"Saya buktinya, ini bulan keenam running dalam Pilwali. Terhitung sejak Juli lalu. Dan Alhamdulillah masih bisa bertahan hingga saat ini, alias bulan ke enam. Ini bagi saya juga menarik. Bahwa memang proses itu tidak semuanya bisa dikalkulasi secara mutlak, yah", tambahnya.
Dipancing soal tudingan beberapa pihak bahwa ia merupakan figur mbonek alias Bondho nekat, Lia menjawab santai.
"Syukurlah sempat dicap mbonek, alias Bondho nekad itu tadi. Dianggap tidak memiliki Bondho finansial yang mumpuni untuk maju dalam pilkada ke depan. Tapi fakta lapangan berbicara beda ya? Buktinya saya masih bisa berproses. Dan saya yakin, bersama kawan-kawan relawan dan tentunya support keluarga, insya Allah saya sangat siap memenuhi kebutuhan finansial hingga akhir perhelatan Pilwali ini. Bismillah, saya sangat optimis", tegas pembina ponpes Raudlatul Banin wal Banat ini.
Terkait dukungan beberapa konglomerat, Lia enggan sesumbar. Menurutnya siapapun punya hak untuk mendukung figur pilihan, baik itu secara moral maupun materiel.
"Saya bersyukur banyak pihak yang mendoakan, namun secuil pun saya tidak mau membebani mereka. Kalaupun kemudian ada orang yang baik dan memberikan dukungan nyata, itu bagi saya rejeki dalam proses. Tidak boleh dijagakno, bahasa Suroboyoane," urainya.
Sebutan Cawali mbonek pun masih melekat dituding kepadanya. Hal ini lumrah mengingat beberapa pengamat menyampaikan secara gamblang jumlah modal finansial yang harus dipenuhi oleh calon walikota mendatang.
Peneliti senior Surabaya Survei Center (SSC), Surokim Abdussalam membeberkan, dana untuk running Pilwali Surabaya 2020 bisa mencapai lebih dari Rp 250 miliar.
"Tentu kebutuhan dana sebesar itu masih minimalis. Secara riil, jauh lebih besar dari itu. Dalam konteks Pilwali langsung, kebutuhan dana akan mulai membesar sejak kontes di internal partai. Mulai dari penjaringan, penilaian, hingga pemberian rekomendasi.
Belum lagi jika sudah memasuki masa pendaftaran di KPU. Tentu butuh dana sosialisasi, kampanye, dan juga pemenangan yang tidak sedikit. Tahap itu sangat membutuhkan dana yang banyak. Calon Walikota harus menyiapkan Alat Peraga kampanye (APK), termasuk iklan di media.
Apalagi menjelang dua bulan dari hari H, kebutuhan dana kian menggelembung untuk pemenangan. Pada tahapan ini calon walikota harus menyiapkan dana saksi untuk Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Surabaya yang juga cukup besar.
"Berdasarkan Pemilu 2019 saja, jumlah TPS mencapai 8.144 TPS. Belum lagi biaya operasional lainnya," pungkas Surokim. (dir)
Selain popularitas, popularitas dan integritas, ada satu lagi syarat yang harus dimiliki oleh kandidat kepala daerah, yaitu isi tas atau logistik. Lia Istifhama pun mengakui logistik penting untuk menunjang operasional, baik dalam penyapaan masyarakat maupun sosialisasi program.
"Tentunya mengikuti proses pilwali ini saya juga siap bondho. Masalah besar atau kecil itu relatif," ujar keponakan Khofifah itu, Kamis (5/12).
Meski harus diakui elektabilitas ibu dua anak ini cukup signifikan, namun sindiran tetap menyerang orang asli Wonocolo itu. Salah satu critical point yang disindir tidak mampu ia penuhi adalah 'isi tas'.
Banyak pihak mengakui besarnya kebutuhan bagi kandidat yang running Pilwali. Fakta itu diakui Lia Istifhama, Dosen yang juga aktivis ini tidak menampiknya.
"Jangankan pemilihan kepala daerah, pileg saja pasti membutuhkan dana besar bagi calegnya. Tapi fakta harus diakui ya, bahwa ada saja caleg yang berhasil menduduki parlemen dengan dana yang sangat minim. Fakta ini sangat menarik untuk dikupas. Pun dengan pilkada, sekalipun membutuhkan dana besar, bukan berarti harus mencapai angka tertentu baru seseorang bisa running di dalamnya," imbuh Semifinalis Ning Surabaya 2005 itu.
Lia mengungkapkan, kalau setiap orang mindset-nya isi tas harus sekian, mana mungkin setiap warga negara bisa bermimpi jadi pemimpin atau kepala daerah. Ia juga menambahkan pengakuannya selama berproses dalam running Pilwali Surabaya.
"Saya buktinya, ini bulan keenam running dalam Pilwali. Terhitung sejak Juli lalu. Dan Alhamdulillah masih bisa bertahan hingga saat ini, alias bulan ke enam. Ini bagi saya juga menarik. Bahwa memang proses itu tidak semuanya bisa dikalkulasi secara mutlak, yah", tambahnya.
Dipancing soal tudingan beberapa pihak bahwa ia merupakan figur mbonek alias Bondho nekat, Lia menjawab santai.
"Syukurlah sempat dicap mbonek, alias Bondho nekad itu tadi. Dianggap tidak memiliki Bondho finansial yang mumpuni untuk maju dalam pilkada ke depan. Tapi fakta lapangan berbicara beda ya? Buktinya saya masih bisa berproses. Dan saya yakin, bersama kawan-kawan relawan dan tentunya support keluarga, insya Allah saya sangat siap memenuhi kebutuhan finansial hingga akhir perhelatan Pilwali ini. Bismillah, saya sangat optimis", tegas pembina ponpes Raudlatul Banin wal Banat ini.
Terkait dukungan beberapa konglomerat, Lia enggan sesumbar. Menurutnya siapapun punya hak untuk mendukung figur pilihan, baik itu secara moral maupun materiel.
"Saya bersyukur banyak pihak yang mendoakan, namun secuil pun saya tidak mau membebani mereka. Kalaupun kemudian ada orang yang baik dan memberikan dukungan nyata, itu bagi saya rejeki dalam proses. Tidak boleh dijagakno, bahasa Suroboyoane," urainya.
Sebutan Cawali mbonek pun masih melekat dituding kepadanya. Hal ini lumrah mengingat beberapa pengamat menyampaikan secara gamblang jumlah modal finansial yang harus dipenuhi oleh calon walikota mendatang.
Peneliti senior Surabaya Survei Center (SSC), Surokim Abdussalam membeberkan, dana untuk running Pilwali Surabaya 2020 bisa mencapai lebih dari Rp 250 miliar.
"Tentu kebutuhan dana sebesar itu masih minimalis. Secara riil, jauh lebih besar dari itu. Dalam konteks Pilwali langsung, kebutuhan dana akan mulai membesar sejak kontes di internal partai. Mulai dari penjaringan, penilaian, hingga pemberian rekomendasi.
Belum lagi jika sudah memasuki masa pendaftaran di KPU. Tentu butuh dana sosialisasi, kampanye, dan juga pemenangan yang tidak sedikit. Tahap itu sangat membutuhkan dana yang banyak. Calon Walikota harus menyiapkan Alat Peraga kampanye (APK), termasuk iklan di media.
Apalagi menjelang dua bulan dari hari H, kebutuhan dana kian menggelembung untuk pemenangan. Pada tahapan ini calon walikota harus menyiapkan dana saksi untuk Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Surabaya yang juga cukup besar.
"Berdasarkan Pemilu 2019 saja, jumlah TPS mencapai 8.144 TPS. Belum lagi biaya operasional lainnya," pungkas Surokim. (dir)
COMMENTS